P
E N Y E R A H A N
Apakah
penyerahan itu ?
Menurut
sistim BW, perjanjian obligatoir (perjanjian jaul beli, tukar
menukar atau hibah) belum mengakibatkan peralihan hak milik atas benda.
Perjanjian obligatoir hanya menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda.
Setelah penyerahan itu dilakukan barulah hak milik atas benda beralih.
Menurut hukum, penyerahan
ialah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik. Dalam bahasa se-hari2,
penyerahan berarti tindakan penyerahan sesuatu barang yaitu dari tangan ke
tangan. Misalnya A membeli sebuah arloji dari B dan berdasarkan perjanjian
jual-beli itu B “serahkan” arloji itu lepada A.
Berdsrkan Psl. 612 ayat
1 BW, penyerahan benda bergerak dilakukan dengan
penyerahan yg nyata dari tangan ke tangan oleh atau atas nama pemilik sehingga
penyerahan yuridis benda2 bergerak adalah sama (bertepatan) dengan
penyerahan nyata dan dinamakan penyerahan nyata . Akan tetapi pada benda2
tak bergerak penyerahan yuridis tidak bertepatan dengan penyerahan nyata.
Misalnya suatu persil (tanah deserta rumah diatasnya) : penyerahan
yuridis dilakukan dengan sebuah akta yang dibuat oleh dan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T.), sedangkan penyerahan nyata dilakukan
dengan penyerahan kunci-kunci rumah tsb. Hanya penyerahan yuridis yang memindahkan
hak milik atas persil tsb.
Perjanjian
obligatoir dan perjanjian kebendaan.
Dalam sistim BW,
hak milik atas sesuatu benda beralih ke pemilik dengan dua perbuatan hukum :
a. Perjanjian jual-beli.
(Dinamakan perjanjian obligatoir karena menimbulkan perikatan).
b. Penyerahan.
Terjadi pertentangan di
Nederland mengenai penyerahan, bhw apakah penyerahan merpkan perbuatan hukum
sepihak atau timbal-balik. Menurut kebanyakan sarjana, penyerahan adalah
perbuatan hukum timbal-balik. Oleh karena tidak cukup kalau penjual memberi hak
milik, akan tetapi pembeli harus juga menerimanya.
Perbuatan hukum
timbal-balik ini dinamakan perjanjian kebendaan (Zakelijke
overeenkomst). Jadi setelah perjanjian obligator masih diperlukan
penyerahan atau perjanjian kebendaan agar hak milik atas benda beralih.
Syarat-syarat
penyerahan.
Agar su/ penyerahan sah
maka berdsrkan Psl. 584 BW, hrs memenuhi 2 syrt, yaitu :
1. Penyerahan harus
didasarkan atas sesuatu peristiwa perdata (rechtstilel) untuk
memindahkan hak milik. Dgn kata lain : penyerahan harus mempunyai sebab atau
causa yang sah.
Pada
umumnya sebab dari penyerahan ialah perjanjian jual-beli. Tetapi sebab atau
peristiwa itu bisa juga perjanjian hibah, perjanjian tukar menukar, suatu hibah
wasiat (legaat : 957 db.), atau suatu perbuatan melawan hukum (1365)
2. Penyerahan hrs dilakukan
oleh orang yg berhak berbuat bebas terhdp benda.
Penyerahan
harus dilakukan oleh yg berhak. Sengaja BWmenyebut ”yang berhak”
dan bukan ”pemilik”, krn :
- Orang tua atau wali
berhak menjual dan menyerahkan barang kepunyaan seorang anak yang belum dewasa;
- Seorang kuasa dapat
menjual dan menyerahkan barang kepunyaan sipemberi kuasa, kalau memang kuasa
diberikan untuk menjual barang tsb
- Seorang kurator dalam
kepailitan berhak menjual dan menyerahkan barang-barang kepunyaan orang yang di
nyatakan pailit
Penyerahan
hrs dilakukan oleh orang yg berhak berbuat bebas terhdp benda ini tidak berlaku
kalau benda yg diserahkan adalah benda bergerak yg tdk atas nama, yaitu
berhbgan dgn berlakunya azas dalam pasal 1977 BW. Mis. A pinjamkan
arlojinya kepada B, kemudian B menjual dan menyerahkan arloji itu kepada
C, maka C menjadi pemilik meskipun penyerahan itu dilakukan oleh seorang yang
”tidak berhak”, asal saja C beritikad baik. (tidak mengetahui atau tidak dapat
menduga bahwa B bukan pemilik).
Cara-Cara penyerahan
Penyerahan
benda bergerak.
Ketentuan umum terdpt dlm
Psl. 612 ayat 1 BW bhw penyerahan benda bergerak dilakukan dgn
penyerahan nyata, artinya penyerahan dari tangan ke tangan. Bilamana benda
dalam jumlah yg besar berada dalam suatu gudang, maka penyerahan hak milik atas
benda itu dapat dilakukan dgn penyerahan kunci (kunci) dari gudang tsb.
Penyerahan dmkemikian dinamakan penyerahan simbolik (traditio symbolica).
Ini bukan pengecualian dari ketentuan umum, sebab penyerahan simbolik memberi
juga kekuasaan yang nyata atas benda.
Ada tiga pengecualian
dimana hak milik beralih tanpa penyerahan nyata, yaitu :
a. Traditio brevi manu (Ps.
612 ayat 2 BW).
b. Constitutum possessorium
(yurisprudensi).
c. Traditio longa manu
(yurisprudensi).
Ad .a. Traditio brevi manu (penyerahan tangan pendek)
Apabila
benda yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang
yang hendak menerimanya, maka penyerahan nyata tidak perlu dilakukan. (612 ayat
2).
Misalnya : A pinjamkan bukunya kpd B, kmd B membeli buku
itu dan membyr harganya pd A. Dlm hal ini memang logis bhw tidak perlu ada pe-
nyerahan nyata oleh sebab buku tsb tlh berada dlm kekuasaan B.
Sebenarnya
B harus mengembalikan dahulu buku itu kepada A, lalu A menyerahkan kembali
kepada B. Tetapi hukum tidak mewajibkan formalitas ini dan mengikuti kebiasaan
dalam praktek. Traditio brevi manu berarti : penyerahan dengan tangan pendek,
atau dengan kata lain : penyerahan terjadi tanpa tangan diulurkan untuk
penyerahan.
Ad.b.
Constitutum possessorium.
Apabila
benda yang harus diserahkan, karena sesuatu perjanjian lain tetap berada dalam
kekuasaan orang yang harus menyerahkannya, maka hak milik beralih tanpa
penyerahan nyata (yurisprudensi).
Misalnya : A menjual bukunya kepada B yg sudah membayar
harganya. Tetapi A, yang belum habis membaca buku itu, pinjam buku itu dari B
pada waktu itu juga.
Dalam
hal ini juga tidak diwajibkan penyerahan nyata utk beralihnya hak milik.
Jadi
pada constitutum possessorium sebenarnya terjadi dua perjanjian pada waktu yg
bersamaan. Dalam contoh diatas perjanjian jual-beli dan perjanjian pinjam -
pakai.
Ad.c.
Tradition longa manu.
Apabila
benda yg hrs diserahkan berada dlm kekuasaan seorang ketiga, mk hak milik atas
benda tsb dpt beralih tanpa penyerahan nyata (yurisprudensi).
Misalnya : A tlh menggadaikan arlojinya kpd B. Kmd A
menjual arloji itu kpd C. Menurut hukum yurisprudensi peralihan hak milik
terjadi dgn pemberitahuan dari A kpd B bahwa hak milik telah beralih kpd C.
Konsekwensi
dari pemberitahuan ini ialah, adalah bahwa setelah hutang A lunas dibayar,
maka B harus menyerahkan arloji itu kepada C.
Bukan
saja dengan perjanjian gadai, tetapi juga dengan perjanjian2 sewa-menyewa,
pinjam-pakai, penitipan, pemberian kuasa, dsb. Dapat terjadi bhw sesuatu benda
berada dalam kekuasaan nyata seorang lain dp pemilik. Keadaan demikian ini,
tidak mengurangi hak pemilik untuk mengibahkan, menukarkan atau menjual
bendanya itu.
Penyerahan
Utang-piutang.
Ada
tiga jenis piutang :
a. Piutang atas nama (613
ayat 1 dan 2).
Yang
membedakan Piutang
atas nama dengan
Piutang yang berbentuk surat-order dan Piutang yang berbentuk surat-toonder
adalah bhw kedua piutang yg disebut belakangan ini adalah surat2 berharga atau
surat2 perniagaan, yg tujuannya memang untuk mempermudah peralihan hak tagihan
kpd seorang lain. Suatu piutang atas nama tidak bertujuan untuk dialihkan
kepada seorang lain.
Namun
hukum memungkinkan juga untuk menjual, menukarkan atau mengibahkan sesuatu
piutang atas nama. Penyerahan piutang atas na- ma dinamakan cessie, dan
dilakukan dgn suatu akta otentik atau diba-wah tangan dlm mana dinyatakan
penyerahan piutang itu (613 ayat 1).
Agar
supaya penyerahan berlaku terhdp yg berhutang, mk penyerahan itu harus
diberitahukan kpdnya atau yg berhutang mengakuinya secara tertulis (613 ayat
2). Tetapi dgn adanya akta cessie, mk perpindahan hak tagihan sdh terjadi
mskpun belum ada pemberitahuan kpd yg berhutang.
Dalam
piutang atas nama mempunyai 2 segi, yaitu :
- segi nilainya piutang itu
sbg bahagian dari harta-kekayaan kreditur, atau dgn kata lain sbg ”benda tak
bertubuh”, yg dpt dialihkannya kpd seorang lain, maka tepatlah penempatan
cessie dlm Hukum Benda. Inilah sistim B.W.
- segi perhubungan
hukumnya, yaitu sebagai perikatan antara kreditur dan debitur, maka peralihan
piutang itu sebenarnya adalah suatu pergantian kreditur dan tempatnya ialah
dalam Hukum Perikatan.
Inilah sistim B.G.B.
Jerman.
b. Piutang yang berbentuk
surat-order (613 ayat 3).
Penyerahan
piutang yg berbentuk surat-order dilakukan dgn endossemen dan penyerahan kertas
atau surat-order tsb. Endossemen berarti suatu keterangan yg ditulis disebelah
belakang surat-order itu yang berbunyi : “ Untuk saya kpd Tuan …. atau order”
dgn tanggal dan tanda-tangan dari yg menyerahkan.
Mis. wesel,
cek-order, konossemen-order, dsb
c. Piutang yang berbentuk
surat-toonder (613 ayat 3).
Penyerahan
piutang yg berbentuk surat-toonder dilakukan dgn penyerahan surat tsb. (uang
kertas, cek-toonder, konossemen-toonder, saham-toonder, dsb).
Penyerahan
benda tak bertubuh lainnya.
Yang
termasuk benda tak bertubuh lainnya (613 ayat 1) ialah antara lain hak cipta,
hak oktroi, HKI dan saham-atas-nama.
Penyerahan
hak cipta diatur dalam pasal 2 UU Hak Cipta (S. 1912 No. 600), yaitu dengan
akta otentik atau dibawah tangan.
Penyerahan
hak oktroi diatur dalam pasal 38 Undang-undang Oktroi (S. 1911 No. 136 juncto
S. 1922 No. 54), yaitu dengan akta. Dalam akta ini harus dicantumkan harga
penjualan hak oktroi. Peralihan hak oktroi baru berlaku terhadap pihak ketiga
setelah pendaftaran peralihan itu dalam daftar bersangkutan di Departemen
Kehakiman.
Penyerahan
HKI diatur dalam UU HKI yang bersangkutan,yaitu dengan akta atau perjanjian
tertulis dan harus didaftarkan di dirjen HKI.
Penyerahan
saham atas nama tidak diatur dalam KUH Dagang dalam pasal-pasal mengenai
perseroan terbatas. Jadi cara penyerahannya dapat dilihat dalam anggaran
dasar dari tiap perseroan terbatas.
Penyerahan
Tanah.
Penyerahan
hak milik atas tanah diatur dalam pasal-pasal 616-620 BW., akan
tetapi pasal2 tsb tidak pernah berlaku. Menurut peraturan peralihan keperundang
undangan baru (S. 1848 No. 10) yang tetap berlaku ialah Ordonansi Baliknama (S.
1834 No. 27). Kemudian berdasarkan UU Pokok Agraria penyerahan hak milik atas
tanah diatur dalam P.P. No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran Tanah (L.N. 1961
No. 28). Menurut pasal 19 dari Peraturan Pemerintahan ini maka setiap
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, ..... harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agraria. Oleh Yurisprudensi ditetapkan bahwa pemindahan hak milik
terjadi pada saat dibuatnya akta jual-beli dimuka Pejabat Pembuat Akta Tanah
(P.P.A.T). Selanjutnya PP No. 10 tahun 1961 ini telah direvisi dgn PP No. 24
tahun 2007 tentang pendaftaran tanah. dalam Psl. 23 PP ini dikemukakan
bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, ..... harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat
akta tanah (PPAT).
Penyerahan
kapal atau perahu yang terdaftar
Pasal
314 K.U.H. Dagang menentukan bahwa kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling
sedikit 20 m3 isi-kotor, dapat dibukukan didalam suatu register
kapal menurut ketentuan2 yang akan ditetapkan dalam suatu UU tersendiri.
Undang-undang yang dimaksud telah ada, yaitu Ordinansi pendaftaran kapal (S.
1933 No. 48), yang mulai berlaku 1 April 1938. Pasal 314 K.U.H.D. dan Ordonansi
Pendaftaran Kapal menentukan bahwa :
- Penyerehan hak milik atas
kapal/perahu yang terdaftar dilakukan dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapkan pejabat yang berwajib.
- Kapal/perahu yang
terdaftar tidak mungkin dibebani dengan hak gadai, tetapi dapat dibebani dengan
hipotek (beban hipotek harus juga didaftarkan).
- Azas pasal 1977 B.W.
tidak berlaku terhadap kapal/perahu yang terdaftar.
Kapal/perahu
yang tidak terdaftar tetap merupakan benda bergerak (lihat pasal 510 B.W.),
sehingga penyerahaan dilakukan dengan penyerahan nyata, pembebanan ialah dengan
hak gadai, dan azas pasal 1977 B.W. berlaku terhadap benda-benda ini.
Penyerahan
rumah (tanpa tanah).
Menurut
sistim BW, tidak mungkin seorang (A) mempunyai hak milik atas
sesuatu gedung permanen yang berdiri diatas tanah kepunyaan seorang lain (B),
terkecuali jika A itu mempunyai hak opstal (hak guna bangunan) atas tanah tsb.
Jadi
yang umum ialah bahwa pemilik tanah adalah juga pemilik dari bangunan atau
tanaman diatas tanah itu (pasal 571, 600 dan 601 B.W.). Satu-satunya
pengecualian ialah bilamana seorang mempunyai hak opstal atas tanah seorang
lain (pasal 711 dan berikut B.W.). Akibat dari sistim BW ini
ialah bahwa seorang penyewa tanah tidak mungkin memiliki sesuatu rumah atau
gedung permanen yang berdiri diatas tanah sewa itu, oleh sebab ia tidak
mempunyai hak opstal atas tanah itu tetapi hanya hak sewa.
Sistim
Hukum Adat adalah lain sekali. Hukum adat tidak mengenal azas ”accessie” (pasal
571 ayat 1 B.W.) tetapi mengenai azas ”pemisahan horizontal”, yaitu bahwa hak
pemilihan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan
yang ada diatasnya. Barang siapa yang membangun dialah pemilik bangunan yang
dibangunnya itu.
Setelah
berlakunya UU Pokok Agraria yg mengadakan unifikasi Hukum Tanah dan yg
menetapkan bahwa ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang-angkasa
ialah Hukum Adat, .......”(pasal 5 U.U.P.A.), maka azas accessie harus
dianggap sbg tidak berlaku lagi. Dgn dmk dapat saja terjadi bahwa A adalah
pemilik tanah dan B pemilik bangunan yg terletak diatas tanah tsb, meskipun B
tidak mempunyai hak-guna-bangunan atas tanah tsb.
Pertanyaan
sekarang ialah : bagaimanakah penyerahan hak milik atas rumah atau gedung tanpa
tanah ? Tentunya BWtidak mengatur hal ini oleh karena seperti telah
dikatakanBW menganut azas accessie yang tercantum dalam pasal 571
ayat 1 BW. Jadi untuk ini kita harus menilik pada praktek, dan
menurut praktek biasanya dilakukan dgn surat jual-beli dgn disaksikan oleh
Kepala Kecamatan.
Penyerahan
hak atas suatu perusahaan
Didalam
praktek sering terjadi, bahwa suatu perusahaan (misalnya perusahaan biskuit)
dijual dalam keseluruhannya oleh pemilik A kepada pembeli B.
Yang
dijual meliputi misalnya :
-
Sebidang tanah hak milik dengan gedung diatasnya.
-
Mesin-mesin dan alat-alat inventaris.
-
Piutang-piutang atas nama.
-
Hak merek.
Perjanjian
jual-beli obligator lazimnya dilakukan dgn satu akta notaris, tetapi
bagaimanakah dilakukan penyerahan (leverning) ?
BW tdk mengatur
penyerahan hak milik atas suatu perusahaan dlm keseluruhan- nya. Hal ini
berarti bahwa bagi tiap bagian dpperusahaan itu, penyerahannya harus
dilaksanakan menurut yg ditentukan oleh UU.
PRIVILEGE.
Ketentuan
– ketentuan Hukum Eksekusi
Privilege a/ piutang2 yg
diistimewakan diatur dlm Psl 1131-1149 Bab 19 buku II BW.
Yang dimaksud dgn
piutang2 yang diistimewakan atau privilege,berdsrkan Pasal 1134 BW adalah
hak yg oleh UU diberikan kpd seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih
tinggi dp kreditur lainnya, semata-mata berdsrkan sifat utangnya.
Dalam Pasal 1131 dan 1132
memuat ketentuan2 umum hukum eksekusi, yaitu :
1131 B.W è segala kebendaan si berutang, baik yg bergerak
maupun tidak bergerak, baik yg sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya.
1132 B.W è harta kekayaan tsb menjadi jaminan bersama bagi
para kreditur; dan bilamana jumlah hutang2 itu ternyata lebih besar dari pada
hasil bersih dari penjualan harta kekayaan itu, maka hasil itu dibagi-bagikan
kepada para kreditur menurut keseimbangan masing-masing piutang.
Ketentuan2 dalam pasal2
di atas baru berlaku kalau yang berhutang (debitur) tidak membayar hutangnya
dan ia digugat dimuka pengadilan. Pelaksanaan keputusan pengadilan yg menghukum
debitur untuk membayar hutangnya atau yg menyatakan debitur pailit (bangkrut),
ialah dengan jalan penyitaan dan penjualan beberapa barang-barangnya atau
(dalam hak kepailitan) seluruh harta kekayaannya.
Apabila hanya ada satu
org kreditur yg meminta eksekusi keputusan pengadilan yg menghukum debitur
untuk membayar hutangnya, maka hanya ketentuan umum yang tercantum dalam pasal
1131 yang berlaku. Sdgkan ketentuan2 lainnya dalam Bab 19 baru berlaku
jika :
a. Kalau ada
kreditur-kreditur lain yang mengadakan verzet (perlawanan) terhadap pemberian
hasil penjualan kepada kreditur-penggugat.
b. Kalau debitur dinyatakan
pailit, maka ada penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur. Dalam hal
ini dengan sendirinya ada lebih dari satu kreditur atau dengan kata lain
ada concursus creditorium (lebih dr 1 kreditur).
Ketentuan
umum dan pengecualian mengenai kedudukan para kreditur.
Menurut Pasal 1136 BW Semua
kreditur yg mempunyai tingkatan yg sama mk akan dibayar menurut
keseimbangan. Keseimbangan yg dimaksud diatur dlm Pasal 1132 BW yaitu
semua kreditur yg mempunyai kedudukan sama, sehingga hasil penjualan benda
dibagi menurut perbandingan piutang masing2 kreditur sebagai contoh :
A
berhutang kepada B Rp. 500.000,- kepada C Rp.1.000.000,-. Hasil penjualan rumah
si A adalah (bersih) Rp.750.000,- Dalam hal ini B mendapat Rp.250.000,- dan C
mendapat Rp.500.000,-
Akan tetapi diperbolehkan
adanya pengecualian terhadap ketentuan umum itu, jika diantara para kreditur
ada alasan2 yg sah utk didahulukan pembayaran piutangnya. (Psl. 1132)
Piutang2 yg didahulukan
pembayarannya menurut Pasal 1133 BW, adalah:
a. Piutang yang dijamin
dengan hak gadai atau yang dijamin dengan hak hipotek.
b. Piutang yang
diistimewakan atau privilege.
Kreditur yg tidak
mempunyai piutang yg didahulukan dinamakan kreditur konkurren sdgkan kreditur
yg mempunyai privilege disebut kreditur privile
Sebagai contoh pembagian
hasil eksekusi kalau ada piutang yang didahulukan pembayarannya :
A
berhutang pada B Rp. 2 jt,- pada C Rp. 600.000,- dan pada D Rp.
300.000,- Kreditur B mempunyai hak hipotek atas persil milik si A. Hasil
bersih dari penjualan persil tsb adalah Rp. 2.600.000,- Jumlah ini harus dibagi
sbb: B dapat Rp. 2.000.000,- C dapat Rp. 400.000,- dan D mendapat Rp.
200.000,-
Persamaan
dan perbedaan antara Privilege dgn dan gadai serta hipotek
Persamaannya
:
privilege
maupun gadai serta hipotek didahulukan pembayarannya dp kreditur2 konkurren.
Lagipula, baik privilege maupun gadai serta hipotek bersifat ”accessoir”
artinya melekat pada piutang : kalau piutang hapus maka otomatis privilege,
gadai atau hipotek hapus pula.
Perbedaanya
ialah :
1. Hak gadai dan hak hipotek
timbul dikarenakan oleh perjanjian, sedang privilege semata-mata diciptakan
oleh penentuan undang-undang.
2. Hak gadai dan hak hipotek
adalah hak-hak kebendaan, sedang privilege bukan hak kebendaan.
3. Kreditur yg mempunyai hak
gadai a/ hipotek diberi kemungkinan eksekusi diluar pengadilan (parate
executive;pasal 1155 dan pasal 1178 ayat 2).
Barang-barang
yang tidak boleh disita dan dijual.
Tentunya
tidak semua barang2 debitur dpt disita dan dijual sbg pelaksanaan sesuatu
keputusan Pengadilan. Debitur tidak berdaya dan dapat mati kelaparan kalau
semua barangnya disita dan dijual. Oleh karena itu antara lain dlm Reglemen
Hukum Acara Perdata (RV.) dan dalam pasal 20 UU kepailitan ditentukan barang2
yang tidak boleh disita dan dijual, seperti kasur dan tempat tidur, pakaian,
alat-alat untuk usaha debitur, buku-buku pelajaran, barang-makanan untuk satu
bulan.
Pembagian
Privilege.
Ada
dua golongan privilege, yaitu :
1. Privilege khusus (khusus
menganai benda tertentu), yg disebut dlm Ps. 1139.
Yg termasuk
Privilege Khusus adalah :
- Biaya-biaya pengadilan.
(lebih dahulu dibyr dp gadai atau hipotik)
- uang sewa dari benda tak
bergerak
- harga pembelian benda2
bergerak yang belum dibayar
- biaya yg dikeluarkan utk
menyelamatkan suatu barang
- Biaya yg msh hrs dibyr pd
tukang krn melakukanpekerjaan pd suatu barang.
- apa yg tlh diserahkan kpd
tamu oleh pengusaha penginapan
- upah2 pengangkutan dan
biaya tambahannya
- biaya yg hrs dibyr kepada
tukang atas pekerjaan yg dilakukan utk benda milik terutang dan jangka waktu
utang tsb maksimal 3 tahun.
- penggantian2 erta
pembayaran2 yg hrs dipikul oleh pegawai2 yg memangku suatu jabatan umum, krn
kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan2 yg dilakukan dlm jabatan.
2. Privilege umum (mengenai
seluruh harta kekayaan debitur), dlm Ps. 1149
Yg
termasuk Privilege Umum adalah antara lain :
- Biaya-biaya penguburan.
- Biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dari sakit yang penghabisan.
- Upah para buruh dari
debitur yang belum terbayar dari tahun yang sedang berjalan dan tahun
sebelumnya.
- utang bahan2 akanaan
debitur beserta keluarganya selama jangka wkt 6 bln terakhir;
- utang pengusaha sekolah
berasrama utk thn penghabisan
- utang2 orang yg tdk cakap
Ada
lagi Privilege yang tidak disebut oleh pasal 1149, yaitu pajak (piutang dari
Negara).
Umumnya
Privilege umum baru timbul kalau debitur dinyatakan pailit (bangkrut) atau
dalam hal seorang ahli waris menerima warisan secara beneficiar (lihat pasal
1029 jo. 1032). Oleh karena didalam eksekusi seluruh harta-kekayaan
debitur dgn sendirinya berarti eksekusi benda2 tertentu dari harta kekayaan
tsb, maka timbul persoalan bagaimanakah ketingkatan dp pada Privilege Khusus
terhadap Privilege Umum, atau dengan kata lain : yang manakah yang lebih
didahulukan? Menurut Psl 1138 BW, privilege khusus yang
didahulukan daripada privilege umum.
Gadai
dan hipotek adalah setingkat dan tidak mungkin bertabrakan, karena obyek gadai
adalah benda tidak bergerak. Gadai dan hipotek lebih tinggi tingkatnya dp
privilege kecuali UU menentukan sebalinya. Misalnya biaya pengadilan
didahulu-kan pembayarannya dp pada gadai atau hipotek (lihat Ps. 1134 jo Ps.
1139).
Peraturan2
privilege pada umumnya berlaku kalau ada kepailitan.
Didalam
praktek jarang terjadi bahwa penyitaan dan penjualan barang2 debitur
berdasarkan keputusan pengadilan menimbulkan persoalan concursus creditorum,
artinya adanya sebagian kreditur yg meminta pembagian dari hasil eksekusi. Oleh
karena itu, maka peraturan privilege didalam praktek berlaku kalau ada
kepailitan.
Dari
hasil likwidasi seluruh harta-kekayaan dari orang (atau badan hukum) yang
pailit, maka pembayaran piutang2 pada umumnya adalah urutan ketingkatan sbb :
1. Biaya eksekusi.
2. Pemegang gadai dan
pemegang hipotek (hanya mengenai hasil penjualan benda yang menjadi jaminan).
3. Para kreditur dengan
privilege khusus.
4. Para kreditur dengan
privilege umum.
5. Para kreditur konkurren.
No comments:
Post a Comment