Sunday, November 4, 2012

PENYERAHAN


P E N Y E R A H A N
Apakah penyerahan itu ?
Menurut sistim BW, perjanjian obligatoir (perjanjian jaul beli, tukar menukar atau hibah) belum mengakibatkan peralihan hak milik atas benda. Perjanjian obligatoir hanya menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda. Setelah penyerahan itu dilakukan barulah hak milik atas benda beralih.
Menurut hukum, penyerahan ialah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik. Dalam bahasa se-hari2, penyerahan berarti tindakan penyerahan sesuatu barang yaitu dari tangan ke tangan. Misalnya A membeli sebuah arloji dari B dan berdasarkan perjanjian jual-beli itu B “serahkan” arloji itu lepada A.
Berdsrkan Psl. 612 ayat 1 BW, penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan yg nyata dari tangan ke tangan oleh atau atas nama pemilik sehingga penyerahan yuridis benda2 bergerak adalah sama (bertepatan) dengan penyerahan nyata dan dinamakan penyerahan nyata . Akan tetapi pada benda2 tak bergerak penyerahan yuridis tidak bertepatan dengan penyerahan nyata. Misalnya suatu persil (tanah deserta rumah diatasnya) : penyerahan yuridis dilakukan dengan sebuah akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T.), sedangkan penyerahan nyata dilakukan dengan penyerahan kunci-kunci rumah tsb. Hanya penyerahan yuridis yang memindahkan hak milik atas persil tsb.
Perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan.
Dalam sistim BW, hak milik atas sesuatu benda beralih ke pemilik dengan dua perbuatan hukum :
a. Perjanjian jual-beli. (Dinamakan perjanjian obligatoir karena menimbulkan perikatan).
b. Penyerahan.
Terjadi pertentangan di Nederland mengenai penyerahan, bhw apakah penyerahan merpkan perbuatan hukum sepihak atau timbal-balik. Menurut kebanyakan sarjana, penyerahan adalah perbuatan hukum timbal-balik. Oleh karena tidak cukup kalau penjual memberi hak milik, akan tetapi pembeli harus juga menerimanya.
Perbuatan hukum timbal-balik ini dinamakan perjanjian kebendaan (Zakelijke overeenkomst). Jadi setelah perjanjian obligator masih diperlukan penyerahan atau perjanjian kebendaan agar hak milik atas benda beralih.
Syarat-syarat penyerahan.
Agar su/ penyerahan sah maka berdsrkan Psl. 584 BW, hrs memenuhi 2 syrt, yaitu :
1. Penyerahan harus didasarkan atas sesuatu peristiwa perdata (rechtstilel) untuk memindahkan hak milik. Dgn kata lain : penyerahan harus mempunyai sebab atau causa yang sah.
Pada umumnya sebab dari penyerahan ialah perjanjian jual-beli. Tetapi sebab atau peristiwa itu bisa juga perjanjian hibah, perjanjian tukar menukar, suatu hibah wasiat (legaat : 957 db.), atau suatu perbuatan melawan hukum (1365)
2. Penyerahan hrs dilakukan oleh orang yg berhak berbuat bebas terhdp benda.
Penyerahan harus dilakukan oleh yg berhak. Sengaja BWmenyebut ”yang berhak” dan bukan ”pemilik”, krn :
- Orang tua atau wali berhak menjual dan menyerahkan barang kepunyaan seorang anak yang belum dewasa;
- Seorang kuasa dapat menjual dan menyerahkan barang kepunyaan sipemberi kuasa, kalau memang kuasa diberikan untuk menjual barang tsb
- Seorang kurator dalam kepailitan berhak menjual dan menyerahkan barang-barang kepunyaan orang yang di nyatakan pailit
Penyerahan hrs dilakukan oleh orang yg berhak berbuat bebas terhdp benda ini tidak berlaku kalau benda yg diserahkan adalah benda bergerak yg tdk atas nama, yaitu berhbgan dgn berlakunya azas dalam pasal 1977 BW. Mis. A pinjamkan arlojinya kepada B, kemudian B menjual dan menyerahkan arloji itu kepada C, maka C menjadi pemilik meskipun penyerahan itu dilakukan oleh seorang yang ”tidak berhak”, asal saja C beritikad baik. (tidak mengetahui atau tidak dapat menduga bahwa B bukan pemilik).
Cara-Cara penyerahan
Penyerahan benda bergerak.
Ketentuan umum terdpt dlm Psl. 612 ayat 1 BW bhw penyerahan benda bergerak dilakukan dgn penyerahan nyata, artinya penyerahan dari tangan ke tangan. Bilamana benda dalam jumlah yg besar berada dalam suatu gudang, maka penyerahan hak milik atas benda itu dapat dilakukan dgn penyerahan kunci (kunci) dari gudang tsb. Penyerahan dmkemikian dinamakan penyerahan simbolik (traditio symbolica). Ini bukan pengecualian dari ketentuan umum, sebab penyerahan simbolik memberi juga kekuasaan yang nyata atas benda.
Ada tiga pengecualian dimana hak milik beralih tanpa penyerahan nyata, yaitu :
a. Traditio brevi manu (Ps. 612 ayat 2 BW).
b. Constitutum possessorium (yurisprudensi).
c. Traditio longa manu (yurisprudensi).
Ad .a. Traditio brevi manu (penyerahan tangan pendek)
Apabila benda yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya, maka penyerahan nyata tidak perlu dilakukan. (612 ayat 2).
Misalnya : A pinjamkan bukunya kpd B, kmd B membeli buku itu dan membyr harganya pd A. Dlm hal ini memang logis bhw tidak perlu ada pe- nyerahan nyata oleh sebab buku tsb tlh berada dlm kekuasaan B.
Sebenarnya B harus mengembalikan dahulu buku itu kepada A, lalu A menyerahkan kembali kepada B. Tetapi hukum tidak mewajibkan formalitas ini dan mengikuti kebiasaan dalam praktek. Traditio brevi manu berarti : penyerahan dengan tangan pendek, atau dengan kata lain : penyerahan terjadi tanpa tangan diulurkan untuk penyerahan.
Ad.b. Constitutum possessorium.
Apabila benda yang harus diserahkan, karena sesuatu perjanjian lain tetap berada dalam kekuasaan orang yang harus menyerahkannya, maka hak milik beralih tanpa penyerahan nyata (yurisprudensi).
Misalnya : A menjual bukunya kepada B yg sudah membayar harganya. Tetapi A, yang belum habis membaca buku itu, pinjam buku itu dari B pada waktu itu juga.
Dalam hal ini juga tidak diwajibkan penyerahan nyata utk beralihnya hak milik.
Jadi pada constitutum possessorium sebenarnya terjadi dua perjanjian pada waktu yg bersamaan. Dalam contoh diatas perjanjian jual-beli dan perjanjian pinjam - pakai.
Ad.c. Tradition longa manu.
Apabila benda yg hrs diserahkan berada dlm kekuasaan seorang ketiga, mk hak milik atas benda tsb dpt beralih tanpa penyerahan nyata (yurisprudensi).
Misalnya : A tlh menggadaikan arlojinya kpd B. Kmd A menjual arloji itu kpd C. Menurut hukum yurisprudensi peralihan hak milik terjadi dgn pemberitahuan dari A kpd B bahwa hak milik telah beralih kpd C.
Konsekwensi dari pemberitahuan ini ialah, adalah bahwa setelah hutang A lunas dibayar, maka B harus menyerahkan arloji itu kepada C.
Bukan saja dengan perjanjian gadai, tetapi juga dengan perjanjian2 sewa-menyewa, pinjam-pakai, penitipan, pemberian kuasa, dsb. Dapat terjadi bhw sesuatu benda berada dalam kekuasaan nyata seorang lain dp pemilik. Keadaan demikian ini, tidak mengurangi hak pemilik untuk mengibahkan, menukarkan atau menjual bendanya itu.
Penyerahan Utang-piutang.
Ada tiga jenis piutang :
a. Piutang atas nama (613 ayat 1 dan 2).
Yang membedakan Piutang atas nama dengan Piutang yang berbentuk surat-order dan Piutang yang berbentuk surat-toonder adalah bhw kedua piutang yg disebut belakangan ini adalah surat2 berharga atau surat2 perniagaan, yg tujuannya memang untuk mempermudah peralihan hak tagihan kpd seorang lain. Suatu piutang atas nama tidak bertujuan untuk dialihkan kepada seorang lain.
Namun hukum memungkinkan juga untuk menjual, menukarkan atau mengibahkan sesuatu piutang atas nama. Penyerahan piutang atas na- ma dinamakan cessie, dan dilakukan dgn suatu akta otentik atau diba-wah tangan dlm mana dinyatakan penyerahan piutang itu (613 ayat 1).
Agar supaya penyerahan berlaku terhdp yg berhutang, mk penyerahan itu harus diberitahukan kpdnya atau yg berhutang mengakuinya secara tertulis (613 ayat 2). Tetapi dgn adanya akta cessie, mk perpindahan hak tagihan sdh terjadi mskpun belum ada pemberitahuan kpd yg berhutang.
Dalam piutang atas nama mempunyai 2 segi, yaitu :
- segi nilainya piutang itu sbg bahagian dari harta-kekayaan kreditur, atau dgn kata lain sbg ”benda tak bertubuh”, yg dpt dialihkannya kpd seorang lain, maka tepatlah penempatan cessie dlm Hukum Benda. Inilah sistim B.W.
- segi perhubungan hukumnya, yaitu sebagai perikatan antara kreditur dan debitur, maka peralihan piutang itu sebenarnya adalah suatu pergantian kreditur dan tempatnya ialah dalam Hukum Perikatan.
Inilah sistim B.G.B. Jerman.
b. Piutang yang berbentuk surat-order (613 ayat 3).
Penyerahan piutang yg berbentuk surat-order dilakukan dgn endossemen dan penyerahan kertas atau surat-order tsb. Endossemen berarti suatu keterangan yg ditulis disebelah belakang surat-order itu yang berbunyi : “ Untuk saya kpd Tuan …. atau order” dgn tanggal dan tanda-tangan dari yg menyerahkan.
Mis. wesel, cek-order, konossemen-order, dsb
c. Piutang yang berbentuk surat-toonder (613 ayat 3).
Penyerahan piutang yg berbentuk surat-toonder dilakukan dgn penyerahan surat tsb. (uang kertas, cek-toonder, konossemen-toonder, saham-toonder, dsb).
Penyerahan benda tak bertubuh lainnya.
Yang termasuk benda tak bertubuh lainnya (613 ayat 1) ialah antara lain hak cipta, hak oktroi, HKI dan saham-atas-nama.
Penyerahan hak cipta diatur dalam pasal 2 UU Hak Cipta (S. 1912 No. 600), yaitu dengan akta otentik atau dibawah tangan.
Penyerahan hak oktroi diatur dalam pasal 38 Undang-undang Oktroi (S. 1911 No. 136 juncto S. 1922 No. 54), yaitu dengan akta. Dalam akta ini harus dicantumkan harga penjualan hak oktroi. Peralihan hak oktroi baru berlaku terhadap pihak ketiga setelah pendaftaran peralihan itu dalam daftar bersangkutan di Departemen Kehakiman.
Penyerahan HKI diatur dalam UU HKI yang bersangkutan,yaitu dengan akta atau perjanjian tertulis dan harus didaftarkan di dirjen HKI.
Penyerahan saham atas nama tidak diatur dalam KUH Dagang dalam pasal-pasal mengenai perseroan terbatas. Jadi cara penyerahannya dapat dilihat dalam anggaran dasar dari tiap perseroan terbatas.
Penyerahan Tanah.
Penyerahan hak milik atas tanah diatur dalam pasal-pasal 616-620 BW., akan tetapi pasal2 tsb tidak pernah berlaku. Menurut peraturan peralihan keperundang undangan baru (S. 1848 No. 10) yang tetap berlaku ialah Ordonansi Baliknama (S. 1834 No. 27). Kemudian berdasarkan UU Pokok Agraria penyerahan hak milik atas tanah diatur dalam P.P. No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran Tanah (L.N. 1961 No. 28). Menurut pasal 19 dari Peraturan Pemerintahan ini maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, ..... harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Oleh Yurisprudensi ditetapkan bahwa pemindahan hak milik terjadi pada saat dibuatnya akta jual-beli dimuka Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T). Selanjutnya PP No. 10 tahun 1961 ini telah direvisi dgn PP No. 24 tahun 2007 tentang pendaftaran tanah. dalam Psl. 23 PP ini dikemukakan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, ..... harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Penyerahan kapal atau perahu yang terdaftar
Pasal 314 K.U.H. Dagang menentukan bahwa kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 m3 isi-kotor, dapat dibukukan didalam suatu register kapal menurut ketentuan2 yang akan ditetapkan dalam suatu UU tersendiri. Undang-undang yang dimaksud telah ada, yaitu Ordinansi pendaftaran kapal (S. 1933 No. 48), yang mulai berlaku 1 April 1938. Pasal 314 K.U.H.D. dan Ordonansi Pendaftaran Kapal menentukan bahwa :
- Penyerehan hak milik atas kapal/perahu yang terdaftar dilakukan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapkan pejabat yang berwajib.
- Kapal/perahu yang terdaftar tidak mungkin dibebani dengan hak gadai, tetapi dapat dibebani dengan hipotek (beban hipotek harus juga didaftarkan).
- Azas pasal 1977 B.W. tidak berlaku terhadap kapal/perahu yang terdaftar.
Kapal/perahu yang tidak terdaftar tetap merupakan benda bergerak (lihat pasal 510 B.W.), sehingga penyerahaan dilakukan dengan penyerahan nyata, pembebanan ialah dengan hak gadai, dan azas pasal 1977 B.W. berlaku terhadap benda-benda ini.
Penyerahan rumah (tanpa tanah).
Menurut sistim BW, tidak mungkin seorang (A) mempunyai hak milik atas sesuatu gedung permanen yang berdiri diatas tanah kepunyaan seorang lain (B), terkecuali jika A itu mempunyai hak opstal (hak guna bangunan) atas tanah tsb.
Jadi yang umum ialah bahwa pemilik tanah adalah juga pemilik dari bangunan atau tanaman diatas tanah itu (pasal 571, 600 dan 601 B.W.). Satu-satunya pengecualian ialah bilamana seorang mempunyai hak opstal atas tanah seorang lain (pasal 711 dan berikut B.W.). Akibat dari sistim BW ini ialah bahwa seorang penyewa tanah tidak mungkin memiliki sesuatu rumah atau gedung permanen yang berdiri diatas tanah sewa itu, oleh sebab ia tidak mempunyai hak opstal atas tanah itu tetapi hanya hak sewa.
Sistim Hukum Adat adalah lain sekali. Hukum adat tidak mengenal azas ”accessie” (pasal 571 ayat 1 B.W.) tetapi mengenai azas ”pemisahan horizontal”, yaitu bahwa hak pemilihan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada diatasnya. Barang siapa yang membangun dialah pemilik bangunan yang dibangunnya itu.
Setelah berlakunya UU Pokok Agraria yg mengadakan unifikasi Hukum Tanah dan yg menetapkan bahwa ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang-angkasa ialah Hukum Adat, .......”(pasal 5 U.U.P.A.), maka azas accessie harus dianggap sbg tidak berlaku lagi. Dgn dmk dapat saja terjadi bahwa A adalah pemilik tanah dan B pemilik bangunan yg terletak diatas tanah tsb, meskipun B tidak mempunyai hak-guna-bangunan atas tanah tsb.
Pertanyaan sekarang ialah : bagaimanakah penyerahan hak milik atas rumah atau gedung tanpa tanah ? Tentunya BWtidak mengatur hal ini oleh karena seperti telah dikatakanBW menganut azas accessie yang tercantum dalam pasal 571 ayat 1 BW. Jadi untuk ini kita harus menilik pada praktek, dan menurut praktek biasanya dilakukan dgn surat jual-beli dgn disaksikan oleh Kepala Kecamatan.
Penyerahan hak atas suatu perusahaan
Didalam praktek sering terjadi, bahwa suatu perusahaan (misalnya perusahaan biskuit) dijual dalam keseluruhannya oleh pemilik A kepada pembeli B.
Yang dijual meliputi misalnya :
- Sebidang tanah hak milik dengan gedung diatasnya.
- Mesin-mesin dan alat-alat inventaris.
- Piutang-piutang atas nama.
- Hak merek.
Perjanjian jual-beli obligator lazimnya dilakukan dgn satu akta notaris, tetapi bagaimanakah dilakukan penyerahan (leverning) ?
BW tdk mengatur penyerahan hak milik atas suatu perusahaan dlm keseluruhan- nya. Hal ini berarti bahwa bagi tiap bagian dpperusahaan itu, penyerahannya harus dilaksanakan menurut yg ditentukan oleh UU.
PRIVILEGE.
Ketentuan – ketentuan Hukum Eksekusi
Privilege a/ piutang2 yg diistimewakan diatur dlm Psl 1131-1149 Bab 19 buku II BW.
Yang dimaksud dgn piutang2 yang diistimewakan atau privilege,berdsrkan Pasal 1134 BW adalah hak yg oleh UU diberikan kpd seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi dp kreditur lainnya, semata-mata berdsrkan sifat utangnya.
Dalam Pasal 1131 dan 1132 memuat ketentuan2 umum hukum eksekusi, yaitu :
1131 B.W è segala kebendaan si berutang, baik yg bergerak maupun tidak bergerak, baik yg sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya.
1132 B.W è harta kekayaan tsb menjadi jaminan bersama bagi para kreditur; dan bilamana jumlah hutang2 itu ternyata lebih besar dari pada hasil bersih dari penjualan harta kekayaan itu, maka hasil itu dibagi-bagikan kepada para kreditur menurut keseimbangan masing-masing piutang.
Ketentuan2 dalam pasal2 di atas baru berlaku kalau yang berhutang (debitur) tidak membayar hutangnya dan ia digugat dimuka pengadilan. Pelaksanaan keputusan pengadilan yg menghukum debitur untuk membayar hutangnya atau yg menyatakan debitur pailit (bangkrut), ialah dengan jalan penyitaan dan penjualan beberapa barang-barangnya atau (dalam hak kepailitan) seluruh harta kekayaannya.
Apabila hanya ada satu org kreditur yg meminta eksekusi keputusan pengadilan yg menghukum debitur untuk membayar hutangnya, maka hanya ketentuan umum yang tercantum dalam pasal 1131 yang berlaku. Sdgkan ketentuan2 lainnya dalam Bab 19 baru berlaku jika :
a. Kalau ada kreditur-kreditur lain yang mengadakan verzet (perlawanan) terhadap pemberian hasil penjualan kepada kreditur-penggugat.
b. Kalau debitur dinyatakan pailit, maka ada penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur. Dalam hal ini dengan sendirinya ada lebih dari satu kreditur atau dengan kata lain ada concursus creditorium (lebih dr 1 kreditur).
Ketentuan umum dan pengecualian mengenai kedudukan para kreditur.
Menurut Pasal 1136 BW Semua kreditur yg mempunyai tingkatan yg sama mk akan dibayar menurut keseimbangan. Keseimbangan yg dimaksud diatur dlm Pasal 1132 BW yaitu semua kreditur yg mempunyai kedudukan sama, sehingga hasil penjualan benda dibagi menurut perbandingan piutang masing2 kreditur sebagai contoh :
A berhutang kepada B Rp. 500.000,- kepada C Rp.1.000.000,-. Hasil penjualan rumah si A adalah (bersih) Rp.750.000,- Dalam hal ini B mendapat Rp.250.000,- dan C mendapat Rp.500.000,-
Akan tetapi diperbolehkan adanya pengecualian terhadap ketentuan umum itu, jika diantara para kreditur ada alasan2 yg sah utk didahulukan pembayaran piutangnya. (Psl. 1132)
Piutang2 yg didahulukan pembayarannya menurut Pasal 1133 BW, adalah:
a. Piutang yang dijamin dengan hak gadai atau yang dijamin dengan hak hipotek.
b. Piutang yang diistimewakan atau privilege.
Kreditur yg tidak mempunyai piutang yg didahulukan dinamakan kreditur konkurren sdgkan kreditur yg mempunyai privilege disebut kreditur privile
Sebagai contoh pembagian hasil eksekusi kalau ada piutang yang didahulukan pembayarannya :
A berhutang pada B Rp. 2 jt,- pada C Rp. 600.000,- dan pada D Rp. 300.000,- Kreditur B mempunyai hak hipotek atas persil milik si A. Hasil bersih dari penjualan persil tsb adalah Rp. 2.600.000,- Jumlah ini harus dibagi sbb: B dapat Rp. 2.000.000,- C dapat Rp. 400.000,- dan D mendapat Rp. 200.000,-
Persamaan dan perbedaan antara Privilege dgn dan gadai serta hipotek
Persamaannya :
privilege maupun gadai serta hipotek didahulukan pembayarannya dp kreditur2 konkurren. Lagipula, baik privilege maupun gadai serta hipotek bersifat ”accessoir” artinya melekat pada piutang : kalau piutang hapus maka otomatis privilege, gadai atau hipotek hapus pula.
Perbedaanya ialah :
1. Hak gadai dan hak hipotek timbul dikarenakan oleh perjanjian, sedang privilege semata-mata diciptakan oleh penentuan undang-undang.
2. Hak gadai dan hak hipotek adalah hak-hak kebendaan, sedang privilege bukan hak kebendaan.
3. Kreditur yg mempunyai hak gadai a/ hipotek diberi kemungkinan eksekusi diluar pengadilan (parate executive;pasal 1155 dan pasal 1178 ayat 2).
Barang-barang yang tidak boleh disita dan dijual.
Tentunya tidak semua barang2 debitur dpt disita dan dijual sbg pelaksanaan sesuatu keputusan Pengadilan. Debitur tidak berdaya dan dapat mati kelaparan kalau semua barangnya disita dan dijual. Oleh karena itu antara lain dlm Reglemen Hukum Acara Perdata (RV.) dan dalam pasal 20 UU kepailitan ditentukan barang2 yang tidak boleh disita dan dijual, seperti kasur dan tempat tidur, pakaian, alat-alat untuk usaha debitur, buku-buku pelajaran, barang-makanan untuk satu bulan.
Pembagian Privilege.
Ada dua golongan privilege, yaitu :
1. Privilege khusus (khusus menganai benda tertentu), yg disebut dlm Ps. 1139.
Yg termasuk Privilege Khusus adalah :
- Biaya-biaya pengadilan. (lebih dahulu dibyr dp gadai atau hipotik)
- uang sewa dari benda tak bergerak
- harga pembelian benda2 bergerak yang belum dibayar
- biaya yg dikeluarkan utk menyelamatkan suatu barang
- Biaya yg msh hrs dibyr pd tukang krn melakukanpekerjaan pd suatu barang.
- apa yg tlh diserahkan kpd tamu oleh pengusaha penginapan
- upah2 pengangkutan dan biaya tambahannya
- biaya yg hrs dibyr kepada tukang atas pekerjaan yg dilakukan utk benda milik terutang dan jangka waktu utang tsb maksimal 3 tahun.
- penggantian2 erta pembayaran2 yg hrs dipikul oleh pegawai2 yg memangku suatu jabatan umum, krn kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan2 yg dilakukan dlm jabatan.
2. Privilege umum (mengenai seluruh harta kekayaan debitur), dlm Ps. 1149
Yg termasuk Privilege Umum adalah antara lain :
- Biaya-biaya penguburan.
- Biaya-biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.
- Upah para buruh dari debitur yang belum terbayar dari tahun yang sedang berjalan dan tahun sebelumnya.
- utang bahan2 akanaan debitur beserta keluarganya selama jangka wkt 6 bln terakhir;
- utang pengusaha sekolah berasrama utk thn penghabisan
- utang2 orang yg tdk cakap
Ada lagi Privilege yang tidak disebut oleh pasal 1149, yaitu pajak (piutang dari Negara).
Umumnya Privilege umum baru timbul kalau debitur dinyatakan pailit (bangkrut) atau dalam hal seorang ahli waris menerima warisan secara beneficiar (lihat pasal 1029 jo. 1032). Oleh karena didalam eksekusi seluruh harta-kekayaan debitur dgn sendirinya berarti eksekusi benda2 tertentu dari harta kekayaan tsb, maka timbul persoalan bagaimanakah ketingkatan dp pada Privilege Khusus terhadap Privilege Umum, atau dengan kata lain : yang manakah yang lebih didahulukan? Menurut Psl 1138 BW, privilege khusus yang didahulukan daripada privilege umum.
Gadai dan hipotek adalah setingkat dan tidak mungkin bertabrakan, karena obyek gadai adalah benda tidak bergerak. Gadai dan hipotek lebih tinggi tingkatnya dp privilege kecuali UU menentukan sebalinya. Misalnya biaya pengadilan didahulu-kan pembayarannya dp pada gadai atau hipotek (lihat Ps. 1134 jo Ps. 1139).
Peraturan2 privilege pada umumnya berlaku kalau ada kepailitan.
Didalam praktek jarang terjadi bahwa penyitaan dan penjualan barang2 debitur berdasarkan keputusan pengadilan menimbulkan persoalan concursus creditorum, artinya adanya sebagian kreditur yg meminta pembagian dari hasil eksekusi. Oleh karena itu, maka peraturan privilege didalam praktek berlaku kalau ada kepailitan.
Dari hasil likwidasi seluruh harta-kekayaan dari orang (atau badan hukum) yang pailit, maka pembayaran piutang2 pada umumnya adalah urutan ketingkatan sbb :
1. Biaya eksekusi.
2. Pemegang gadai dan pemegang hipotek (hanya mengenai hasil penjualan benda yang menjadi jaminan).
3. Para kreditur dengan privilege khusus.
4. Para kreditur dengan privilege umum.
5. Para kreditur konkurren.

No comments:

Post a Comment